Langsung ke konten utama

Insecure, Mentalitas Budaya Kekinian

    Insecure, kata yang populer di era generasi Z saat ini. Kehadirannya menjadi trending topic saat kemajuan teknologi semakin berkembang dengan ditandai munculnya dalam platform media social seperti TikTok, youtube, facebook, instagram dan twitter. Bahkan menjadi tema menarik dalam pembahasan psikologi di kalangan anak muda. Hal ini dipicu pula karena adanya pengaruh media yang mengakibatkan anak muda saat ini merasa dirinya tidak percaya diri, cemas bahkan merasa tidak aman. Sehingga cenderung etnosentris, membanding-bandingkan pencapaian atau keberhasilan dirinya dengan orang lain ataupun kelompok yang terlihat berbeda dengan dirinya.

    Adanya pengaruh dari framing media yang membuat standar ideal dalam kehidupan manusia menjadi pemicu dalam kehidupan sehari-hari. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak publik lebih tertuju pada hasil ketimbang proses. Misalkan dalam hal fisik, perempuan digambarkan sosok yang memiliki kulit putih, hidung mancung, langsing dan bertubuh tinggi. Hal ini yang memicu, sebagian perempuan berlomba-lomba tampil berdasarkan standar kecantikan yang telah disosialisasikan melalui media saat ini. Tak hanya itu saja, di kalangan laki-laki juga demikian. Menjadi sosok idaman perempuan diibaratkan seperti bak Pangeran di negeri dongeng. Tampan rupawan, bertubuh tinggi dan sixpack. Hal ini juga telah dimanfaatkan oleh sistem kapitalis yang mendukung. Dengan merebaknya produk-produk kecantikan seperti skincare, peninggi badan, obat pelangsing maupun klinik bedah kecantikan.

    Selain itu, tren sukses dikalangan anak muda juga kini diukur dengan popularitas dan kekayaan yang kerapkali ditampilkan oleh kalangan selebgram atau influencer melalui konten media sosial di era kekinian, sehingga lagi-lagi mampu mempengaruhi mindset dikalangan anak muda. Kebahagiaan diukur berdasarkan materiaslime. Keyakinan bahwa penggunaan barang-barang branded dan uang adalah jalan utama mencapai kebahagiaan personal, kehidupan yang lebih baik dan identitas diri yang lebih menjadi sebuah prestise. Kondisi ini tidak dapat dipungkiri semakin nyata adanya di tengah masyarakat.

    Perubahan sosial memicu segala perkembangan kemajuan teknologi memudahkan segala aktivitas manusia yang terkesan terlihat instan. Culture shock menjadi salah satu dampak bagi mereka yang tertinggal. Cultural shock merupakan kondisi ketika masyarakat mengalami keterkejutan karena belum siap menerima perubahan. Perubahan yang dimaksud di sini adalah perubahan yang disebabkan akibat adanya unsur-unsur kebudayaan asing yang berbeda dengan kebudayaan sendiri. Sehingga bagi sebagian orang akan mengalami ketertinggalan kondisi dan bisa menyebabkan terjadinya masalah sosial.

    Bagi anak muda, dampak insecure bisa saja menyebabkan stress, depresi hingga parahnya melakukan penyimpangan sosial seperti bullying, penggunaan obat-obatan terlarang atau yang lebih parahnya tindakan bunuh diri. Hal itu dipicu karena adanya rasa ‘insecure’ yang berlebihan. Menurut WHO, setiap 40 detik terdapat satu orang yang meninggal bunuh diri atau setara dengan 800 ribu orang setiap tahun. Sedangkan menurut data kepolisian di Indonesia, pada tahun 2020 dilaporkan terdapat 671 orang yang melakukan tindakan bunuh diri. Sedangkan BPS tahun 2020 mencatat, terdapat total 5.787 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Hal itu semua merupakan bagian dari permasalahan kesehatan jiwa secara keseluruhan.

    Ketidakpercayaan diri, kurang akal maupun kurang iman menjadi labelling bagi mereka para pecandu insecure. Sebab, hal itulah yang mendorong mental seseorang menjadi down dan merasa hidupnya tidak berarti. Untuk mengatasinya, perlu adanya peningkatan kemampuan diri untuk bangkit dari zona tersebut. Memperluas pergaulan dengan frekuensi yang positif serta berusaha menyadari bahwa setiap individu itu unik, sehingga seseorang mampu merumuskan tujuan hidupnya dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, bagi mereka yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi tak sepatutnya meremehkan orang lain ataupun menindas orang yang lemah. Menularkan hal positif dan kebaikan adalah nilai-nilai kemanusiaan yang perlu dikembangkan. Sehingga setiap individu satu dengan lainnya, bahkan kelompok dengan kelompok mampu menjadi supporting system dalam kehidupan sehari-hari. Karena setiap dari kita hakikatnya tumbuh dan berkembang dalam menyikapi segala permasalahan yang dihadapi. Yuk, kurangi insecure banyakin bersyukur! Luaskan positive thinking. Karena hasil tak melukai prosesnya. Semangat Berproses! 😊



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL : HIPERNOVA Sang Paradoks, Pesujud dan Monotheisme

JUDUL BUKU : HIPERNOVA | PENULIS : FARIZA AULIA JASMINE TEBAL BUKU : 230 HALAMAN | PENERBIT : TIGA SERANGKAI TAHUN TERBIT : 2018  GENRE : RELIGI, FIKSI | NILAI : 4/5      Tuhan tidak lain hanyalah proyeksi manusia. Begitulah pandangan Novae, sosok perempuan yang berprofesikan model terkenal penderita albino. Ia telah kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhannya. Berawal sejak peristiwa yang telah terjadi yang dialaminya pada tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Selain itu ia juga kehilangan saudara-saudaranya dan juga keyakinannya sendiri terhadap hidup.      “Selain Tuhan adalah proyeksi manusia, saat ini ketuhanan menjadi ajang bisnis bagi para umat ‘berkostum’ laksana malaikat, padahal lebih menyeramkan dari kostum hallowen . Mereka memasang karakter, image , bahkan menjual ayat-ayat yang disebut suci untuk sesuap nasi. Sialnya, banyak orang yang menyanggupi menggelontoran uang bernominal sangat besar sebagai konsumen mereka. Oh... sungguh proyek yang menguntungkan.” uja

Sakaw On Tablet

Pembelajaran dengan menggunakan gadget di sekolah bukanlah hal yang baru apalagi asing bagi dunia pendidikan.  Beberapa sekolah sudah menerapkan dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama di masa pandemi untuk sekolah berasrama atau boarding menjadi hal baru dalam hal regulasi penggunaan gadget . Hal ini menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa. Karena mereka tidak lagi tertinggal dalam hal informasi dan dapat mengakses informasi secara leluasa serta tidak merasa lagi dalam 'penjara suci' bagi sekolah boarding atau pesantren. Bagi guru hal ini menjadi masalah baru dengan beredarnya tablet di sekolah maupun di asrama. Mengapa? Karena siswa menjadi tidak fokus dalam belajar dan sulit dikendalikan. Kolaborasi pembelajaran dengan metode asinkron dan hybrid learning digunakan sebagai solusi atas terbatasnya jarak di masa pandemi ini. Namun, pada prakteknya seringkali penggunaan tablet di sekolah pada waktu istirahat maupun sedang berlangsung