Pembelajaran dengan menggunakan gadget di sekolah bukanlah hal yang baru apalagi asing bagi dunia pendidikan. Beberapa sekolah sudah menerapkan dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama di masa pandemi untuk sekolah berasrama atau boarding menjadi hal baru dalam hal regulasi penggunaan gadget. Hal ini menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa. Karena mereka tidak lagi tertinggal dalam hal informasi dan dapat mengakses informasi secara leluasa serta tidak merasa lagi dalam 'penjara suci' bagi sekolah boarding atau pesantren.
Bagi guru hal ini menjadi masalah baru dengan beredarnya tablet di sekolah maupun di asrama. Mengapa? Karena siswa menjadi tidak fokus dalam belajar dan sulit dikendalikan. Kolaborasi pembelajaran dengan metode asinkron dan hybrid learning digunakan sebagai solusi atas terbatasnya jarak di masa pandemi ini. Namun, pada prakteknya seringkali penggunaan tablet di sekolah pada waktu istirahat maupun sedang berlangsung pembelajaran disalahgunakan siswa untuk mengakses media sosial, nonton film, main game online, baca komik digital, mendengarkan musik hingga membuat grup obrolan. Kondisi makin tidak terkendali, bahkan beberapa dari mereka seringkali menarik diri dari teman-temannya dan asik dengan dunianya bersama tablet dipojokan.
Gejala tersebut mendeskripsikan seseorang mengalami keadaan culture shock. Hal tersebut memanglah hal normal yang terjadi pada setiap orang ketika bertemu pada kondisi lingkungan yang tidak biasa. Diantara mereka bisa jadi bergembira dan memberikan kesan baik dan positif. Namun, bagi mereka yang kebablasan, mereka akan kehilangan self control sehingga memberikan dampak buruk dan negatif.
Bisa terlihat ketika siswa menjalankan aktivitasnya di sekolah maupun di asrama yang selalu berusaha mencari ide dan cara untuk mendapatkan penggunaan tablet. Dimulai dengan alasan kegiatan organisasi, lomba mandiri hingga penyelesaian tugas sekolah. Kreatif dan hal yang baik bukan? Namun, faktanya hal tersebut berdampak siswa menjadi lebih mudah bosan ketika mengikuti segala aktivitas dan regulasi sekolah boarding. Mereka seringkali mengeluhkan untuk minta pulang, mudah marah atau 'tantrum' bahkan terlihat sakaw atau gelisah saat tablet mereka diambil dan ataupun kondisi dimana mereka tidak diperkenankan menggunakan tablet pada waktu-waktu tertentu.
Tablet menjadi candu tersendiri bagi siswa. Ibaratnya terdapat zat adiktif yang mampu mempengaruhi psikologis maupun perilaku siswa. Adab siswa terhadap orang tua, guru maupun civitas akademika menjadi semakin memprihatinkan. Kecerdasan yang dimiliki siswa digunakan untuk mengkritisi dan melawan guru, ketika mereka berbuat salah kemudian ditegur dan dinasehati baik secara langsung maupun tidak langsung.
Hal ini menjadi PR bersama bagi sekolah boarding untuk mengatasi permasalahan tersebut yang cukup mengganggu berjalannya regulasi aktivitas pendidikan. Bahkan yang menderita kerugian sangat besar adalah siswa itu sendiri. Mereka mengakui bahwa mereka memang terdistract akibat adanya tablet. Bahkan beberapa orang tua juga mengeluhkan, dengan adanya tablet akses anak lebih leluasa untuk menghubungi orang tua tanpa batas. Bahkan seringkali siswa menghubungi orang tua pada saat jam pelajaran berlangsung atau pun jam bekerja orang tua untuk sekedar meminta sesuatu ataupun merengek pulang ke rumah. Hal itu pun cukup membuat orang tua terganggu dan menanyakan soal regulasi penggunaan tablet.
Lalu, mau sampai kapankah penggunaan tablet di sekolah boarding berlangsung? Akankah ada solusi dan strategi dalam penanggulangan masalah ini? Siapa sajakah pihak yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pembelajaran dengan menggunakan tablet? Meskipun evaluasi sudah seringkali dilakukan, nampaknya peraturan belum sepenuhnya ditegakkan dan dijalankan. Reward dan punishment dalam sistem poin pun belum berjalan hingga saat ini dan masih tersendat akan kelalaian struktur yang ada. Setiap dari kita mestinya sadar bahwa selain mengajar, guru juga bertanggungjawab dalam hal mendidik siswa pada pembentukan karakter. Karena hakikatnya pendidikan itu mesti bersifat holistik, yang memperhatikan potensi yang dimiliki siswa baik dalam aspek intelektual, spiritual, emosiaonal, fisik, artistik dan juga teknologi.
Ditulis disudut meja yang asik mengetik.
Komentar
Posting Komentar