Langsung ke konten utama

Makna Simbolik Dibalik Dramaturgi Polisi Lalu Lintas di Jalanan



Makna Simbolik Dibalik Dramaturgi Polisi Lalu Lintas di Jalanan
(Studi Kasus Razia Kendaraan Bermotor)

Oleh: Ima Nirwana Wati[1]

Abstrak

            Penulisan ini berusaha memaparkan tentang tugas dan peran Polantas (polisi lalu lintas) dalam melakukan razia berkendaraan bermotor. Serta mengungkap dibalik makna simbolik yang dilakukan polisi dalam berinteraksi terhadap pengendara bermotor yang terkena razia. Hal ini juga berkaitan dengan dramaturgi yang dilakukan oleh Polantas dalam melakukan aksinya. Sehingga kita dapat mengetahui tugas dan peran polantas dengan baik sesuai dengan prosedur yang berlaku. Oleh karena itu, penulis mencoba melakukan studi kasus terhadap razia kendaraan bermotor yang dilakukan oleh sejumlah oknum polisi.
Kata Kunci: Polantas, Makna Simbolik, Dramaturgi, Razia


Pengantar

Kepolisian Negara Republik merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat menegakkan hukum serta memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Dalam posisi demikian adalah wajar jika evaluasi kinerja Polri langsung diberikan oleh masyarakat yang amat berpengaruh terhadap Citra Polri. Fakta dilapangan menyatakan, terkadang beberapa oknum polisi membuat resah pengendara motor yang melintasi daerah yang dilakukan razia. Pasalnya mereka (pengendara) yang mengaku memiliki surat lengkap, selalu saja dibuat seolah-olah melanggar. Hal inilah yang kemudian akan menjadi pembahasan dalam penulisan ini. Melihat tugas dan peran Polantas dalam interaksionis simbolik yang digunakannya dalam menghadapi pengendara bermotor melalui atribut dan sebagainya yang membuat pengendara motor takut melihat Polantas. Serta juga melihat citra polantas dalam perspektif dramaturgi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai satuan keamanan hukum di Indonesia.


Tugas dan Peran Polantas sebagai Simbol Interaksi
Dalam melaksanakan tugas dan sebagai alat negara memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, maka eksistensi Kepolisian Negara RI (Polri) selaku bersama dan menyatu dengan masyarakat. Dalam posisi demikian, wajar jika evaluasi kinerja Polri langsung diberikan oleh masyarakat. Evaluasi kinerja langsung oleh masyarakat terhadap Polri amat berpengaruh terhadap citra Polri. Saat ini kualitas citra Polri dinilai para pengamat mengalami kemerosotan.

Kemerosotan citra Polri di mata masyarakat merupakan sebuah persoalan penting yang hingga saat ini masih terus membelenggu Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan melakukan pengayoman, perlindungan serta menciptakan keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas dalam melayani masyarakat.

Sama seperti tugas dan wewenang Polri dalam bidang-bidang yang lain, tugas dan wewenang Polri dalam bidang lalu lintas juga dapat dikelompokkan ke dalam tugas dan wewenang sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan penegakan hukum, serta melakukan perlindungan, pengayoman dan pertolongan kepada masyarakat. Dalam rangka menjaga Keamanan, Ketertiban, dan Kelancaran Lalulintas, Polri (Polantas) diberi tugas dan wewenang menjaga keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas, seperti mengatur kelancaran arus lalu lintas dan lain sebagainya.

Sedangkan dalam bidang penegakan hukum, Polri (Polantas) diberi tugas dan wewenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan tindak pidana lain yang berhubungan lalu lintas dan angkutan jalan. Sementara dalam hal pengayoman, perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat, Polri diberi tugas dan wewenang untuk memberikan sertifikasi berupa SIM kepada pengemudi kendaraan bermotor agar warga masyarakat, dalam menggunakan kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan untuk melindungi masyarakat dari bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh pengendara yang tidak terampil, dalam mengemudikan kendaraan Roda 2 (R2) dan kendaraan Roda Empat (R4).

Pada prinsipnya mengenai tugas dan wewenang Polri dalam bidang penyidikan tindak pidana pelanggaran lalu lintas berbeda dengan penyidikan untuk tindak pidana yang lain, karena dasar hukum yang digunakan adalah sama yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP, terutama dalam Pasal 5 Ayat (1). Tugas dan wewenang Polri yang demikian itu diatur juga Pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Namun demikian, di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang LLAJ ini diatur pula masalah penyidikan terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan.

Materi pengaturan penyidikan tindak pidana pelanggaran LLAJ, antara lain berkaitan dengan pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan. Pemeriksaan kendaraan bermotor di jalan tersebut dimaksudkan untuk menjaga keselamatan, keamanan dan ketertiban lalu lintas dan angkutan jalan. Pemeriksaan kendaraan bermotor itu meliputi: (1) pemeriksaan persyaratan teknis dan laik jalan; (2) pemeriksaan tanda bukti pendaftaran atau surat tanda bukti pendaftaran atau surat tanda coba kendaraan bermotor, dan surat izin mengemudi (SIM). Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pemeriksaan kendaraan bermotor itu antara lain:
1)      Ketentuan Pasal 13 UU-LLAJ mengharuskan agar setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus yang dioperasikan di jalan wajib diuji, dan pengujian tersebut meliputi pengujian tipe dan/atau uji berkala. Untuk itu pemeriksaan di sini berkaitan dengan bukti-bukti lulus uji dari kendaraan yang diperiksa tersebut.
2)      Ketentuan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU-LLAJ mengharuskan agar setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib didaftarkan, dan sebagai tanda bukti pendaftaran diberikan bukti pendaftaran kendaraan bermotor. Untuk itu pemeriksaan di sini berkaitan dengan bukti-bukti yang menunjukkan pendaftaran kendaraan yang dioperasikan di jalan tersebut.
3)      Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU-LLAJ mengharuskan setiap pengemudi kendaraan bermotor wajib memiliki surat izin mengemudi. Untuk itu, pemeriksaan dalam hal ini berkaitan dengan surat izin mengemudi (SIM) dari orang mengoperasikan kendaraan bermotor di jalan.

Sehubungan dengan kegiatan pemeriksaan kendaraan bermotor di atas, maka kegiatan penyidikan terhadap pelanggaran di bidang LLAJ sebagaimana diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang LLAJ berkaitan dengan tiga ketentuan pemeriksaan kendaraan bermotor sebagaimana diuraikan di atas. Kegiatan pemeriksaan tersebut tidak disertai dengan penyitaan kendaraan bermotor dan/atau surat tanda nomor kendaraab bermotor, kecuali dalam hal: (a) kendaraan bermotor diduga berasal dari hasil tindak pidana itu digunakan untuk melakukan tindak pidana; (b) pelanggaran lalu lintas tersebut mengakibatkan meninggalnya orang; (c) pengemudi tidak dapat menunjukkan tanda bukti lulus uji kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 Ayat (3). (d) pengemudi tidak dapat menunjukkan surat tanda nomor kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2). dan (e) pengemudi tidak dapat menunjukkan surat izin mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (1).
Kewenangan penyidik dalam pemeriksaan kendaraan bermotor tersebut, antara lain dapat dilihat dalam Pasal 53 Ayat (2) UU-LLAJ:
1)      melakukan pemeriksaan atas kebenaran keterangan berkenaan dengan pemenuhan persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
2)      melarang atau menunda pengoperasian kendaraan bermotor yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan;
3)      meminta keterangan dan barang bukti dari pengemudi, pemilik kendaraan, atau pengusaha angkutan umum sehubungan dengan tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor;
4)      melakukan penyitaan tanda uji kendaraan yang tidak sah;
5)      melakukan pemeriksaan terhadap perizinan angkutan umum di terminal;
6)      melakukan pemeriksaan terhadap berat kendaraan beserta muatannya;
7)      membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
8)      menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana yang menyangkut persyaratan teknis dan laik jalan kendaraan bermotor serta perizinan angkutan umum.

Polisi lalu lintas (Polantas) bertanggung jawab atas tata tertib lalu lintas di jalan raya, unit ini membantu unsur-unsur lain dalam kepolisian untuk menangani pelanggaran hukum di jalan raya. Untuk itu, ada empat langkah yang menjadi ciri utama tugas Polantas, yaitu penegakan hukum lalu lintas (baik preventif maupun represif), pendidikan masyarakat tentang lalu lintas, rekayasa lalu lintas, serta registrasi dan identifikasi pengemudi dan kendaraan bermotor. Selain itu, Polantas melayani masyarakat dalam pengurusan STNK, SIM, dan menolong kecelakaan lalu lintas.[2]
Tindakan korupsi juga terkadang sedemikian rupa menggerogoti institusi kepolisian. Keberadaan hak diskresi dengan memberi kewenangan polisi dalam mengambil keputusan di lapangan, membuka peluang bagi polisi untuk melakukan korupsi berupa negosiasi atau tawar-menawar dengan pelanggar lalu lintas. Melalui hal ini interaksi simbolik pun dimainkan oleh sebagian oknum polisi (khususnya polantas) yang melakukan razia berkendaraan bermotor.
Interaksionis simbolis memahami bahasa sebagai sistem simbol yang begitu luas. Kata-kata menjadi simbol karena mereka digunakan untuk memaknai berbagai hal. Kata-kata memungkinkan adanya simbol lain. Tindakan, objek dan kata-kata lain hadir dan memiliki makna hanya karena mereka telah dan dapat digambarkan melalui penggunaan kata-kata.[3]
Seperti halnya polantas ketika melakukan razia yang langsung memberikan pertanyaan, ”Mau damai atau sidang?”. Kalimat tersebut memberikan makna bahwa ada simbol di dalamnya yang mempengaruhi pengendara yang terkena tilang. Aksi tilang-menilang yang dilakukan oknum polisi ini cenderung disalahgunakan dan bersifat negatif. Alhasil tawar-menawar pun terjadi, si pengendara pun jatuh ke lubang dan memilih untuk melakukan damai dengan membayar sejumlah uang tunai langsung kepada pihak oknum polisi tersebut.
            Makna dan simbol memberi karakteristik khusus pada tindakan sosial (yang melibatkan aktor tunggal) dan interaksi sosial (yang melibatkan dua aktor atau lebih yang melakukan tindakan sosial secara timbal balik). Dengan kata lain, ketika melakukan suatu tindakan, orang juga mencoba memperkirakan dampaknya pada aktor lain yang terlibat. meski seringkali terlibat dalam perilaku habitual tanpa berpikir, orang memiliki kapasitas untuk terlibat dalam tindakan sosial.[4]
Dalam proses interaksi, secara simbolis orang mengkomunikasikan makna kepada orang lain yang terlibat. Orang lain menafsirkan simbol-simbol tersebut dengan mengarahkan respons tindakan berdasarkan penafsiran mereka. Dengan kata lain, dalam interaksi sosial, aktor terlibat dalam proses pengaruh-mempengaruhi. Cristopher (2001) menamakan interaksi sosial dinamis ini dengan ‘tarian’ yang melibatkan pasangan.[5]

Citra Polantas dalam Menjalankan Tugas dan Wewenangnya

Gambaran tentang keterpurukan citra Polisi sebagaimana diuraikan pada bagian diatas, seakan membuka peluang terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sehari-hari. Sebuah analisis dari seorang pakar kriminologi Amerika Serikat, Sutherland, dalam bukunya berjudul “Criminal Homicide, A Study of Culture and Conflict” yang diterbitkan tahun 1960 di California, membahas berbagai kasus perilaku menyimpang yang dilakukan oleh penegak hukum, terutama polisi. Menurut Suttherland, tugas dan pekerjaan polisi sehari-hari terlampau sering bergaul dengan dunia kejahatan dan pejahat, sehingga secara tidak disadari polisi menjadi sangat akrab dan tak asing lagi dengan kejahatan. Dampak negatif yang sering tak mengerti adalah polisi telah berada dalam lintasan kritis, seakan-akan ia tengah berdiri pada sebuah perbatasan yang sangat rawan antara tugasnya sebagai penegak hukum dan terhadap kejahatan yang tengah ditanganinya.[6]

Goffman berasumsi bahwa ketika individu berinteraksi, mereka ingin menyajikan pemahaman tertentu  tentang diri yang akan diterima oleh orang lain. Namun, bahkan ketika menampilkan diri mereka, para aktor tersebut sadar bahwa anggota audien dapat mengganggu pertunjukan mereka. Oleh karena itu, aktor menyesuaikan diri dengan kontrol audien, khususnya elemennya yang mungkin bersifat disrutif. Aktor berharap agar pemahaman tentang diri yang mereka sajikan dihadapan audien akan cukup kuat bagi audien tersebut untuk mendefinisikan aktor sebagaimana yang dikehendaki sang aktor. Aktor pun berharap ini akan menyebabkan audien bertindak sukarela sebagaimana yang dikehendaki sang aktor. Goffman menyebut minat utama untuk memelihara kesan tertentu dihadapan masalah yang mereka hadapi dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.
Melihat pembahasan di atas, ketika Polantas berinteraksi dengan pengendara motor maka Polantas akan menyajikan pemahaman tentang dirinya sebagai penegak hukum dan melakukan penertiban di jalan raya. Sehingga pengendara motor pun akan menyesuaikan diri dengan menjadi pengguna jalan yang baik. Namun, terkadang ketika pengendara motor ini tidak memiliki SIM ataupun STNK dan lainnya. Maka ia pun akan tetap berusaha mencitrakan dirinya dengan baik. Namun, ketika Polantas itu memberikan sebuah pilihan, antara damai atau sidang. Maka pengendara motor pun akan memilih yang menguntungkan dirinya dan Polantas tersebut. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Polantas. Pengendara motor pun dapat mendefinisikan Polantas sebagaimana yang dikehendaki Polantas.
Mengikuti analogi treatikal ini, Goffman berbicara tentang panggung depan. Depan adalah bagian dari pertunjukan yang secara umum berfungsi secara umum berfungsi secara agak tetap dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi mereka yang memerhatikan pertunjukan tersebut. Di panggung depan, Goffman lebih jauh membedakan antara setting dengan muka personal. Setting merujuk pada tampilan fisik yang biasanya harus ada jika aktor tampil. Tanpa itu, aktor biasanya tidak dapat tampil. Seperti Polantas memerlukan atribut kepolisiannya yang kemudian memiliki muka personal terdiri dari pernik-pernik perlengkapan ekspresi yang didentikkan audien dengan pementas dan diharapkan agar dibawa serta dalam setting tersebut.


Penutup

Perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh sebuah oknum polisi di jalanan secara tidak langsung menggambarkan bahwa citra polisi buruk dengan dramaturgi yang dilakukan oleh Polantas dalam kasus razia pengedara bermotor. Terlihat juga administrasi peradilan pidana serta perilaku para penyelenggaranya belum menunjukkan hasil yang maksimal langsung guna mendapatkan sesuatu keuntungan dari hasil razianya. Gambaran yang dikemukakan di atas bukan mau menunjukkan bahwa seluruh pekerjaan yang dijalankan oleh polisi adalah buruk dan adanya simbol interaksionis yang bermain di dalamnya, juga ada memberitahukan kepada kita bahwa praktik- praktik “kotor” seperti itu selalu saja ada dalam lingkaran pekerjaan polisi sebagai suatu simbol yang meresahkan masyarakat. Oleh sebab itu, adalah suatu peran yang dimainkan Polantas dalam menjalankan aksinya sehingga kemudian menilai bahwa apa yang dilakukannya adalah benar dan selalu berhasil dalam segala gerak langkahnya dengan sesuai mengikuti kemauan korbannya.
 Daftar pustaka

George Ritzar, Douglas J. Goodman. 2004. Teori Sosiologi. Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosiologi modern. Bantul: Kreasi Wacana.
Undang-Undang Lalu-Lintas dan Angkutan Jalan
Edi Suroso. 2008. Membangun Citra Polisi dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu-Lintas di Polres Batang.



[1] Mahasiswa Pendidikan Sosiologi Non Reguler 2011 FIS UNJ
[2] http://www.museum.polri.go.id/lantai2_linyanyom_geganapolri-dlm-tugas.html
[3] Hal. 395
[4] ibid
[5] ibid
[6] Suroso, Edi. 2008. Membangun Citra Polisi dalam Penanggulangan Tindak Pidana Pelanggaran Lalu-Lintas di Polres Batang. Hal. XXii

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL : HIPERNOVA Sang Paradoks, Pesujud dan Monotheisme

JUDUL BUKU : HIPERNOVA | PENULIS : FARIZA AULIA JASMINE TEBAL BUKU : 230 HALAMAN | PENERBIT : TIGA SERANGKAI TAHUN TERBIT : 2018  GENRE : RELIGI, FIKSI | NILAI : 4/5      Tuhan tidak lain hanyalah proyeksi manusia. Begitulah pandangan Novae, sosok perempuan yang berprofesikan model terkenal penderita albino. Ia telah kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhannya. Berawal sejak peristiwa yang telah terjadi yang dialaminya pada tragedi tsunami di Aceh tahun 2004. Selain itu ia juga kehilangan saudara-saudaranya dan juga keyakinannya sendiri terhadap hidup.      “Selain Tuhan adalah proyeksi manusia, saat ini ketuhanan menjadi ajang bisnis bagi para umat ‘berkostum’ laksana malaikat, padahal lebih menyeramkan dari kostum hallowen . Mereka memasang karakter, image , bahkan menjual ayat-ayat yang disebut suci untuk sesuap nasi. Sialnya, banyak orang yang menyanggupi menggelontoran uang bernominal sangat besar sebagai konsumen mereka. Oh... sungguh proyek yang menguntungkan.” uja

Insecure, Mentalitas Budaya Kekinian

     Insecure , kata yang populer di era generasi Z saat ini. Kehadirannya menjadi trending topic saat kemajuan teknologi semakin berkembang dengan ditandai munculnya dalam platform media social seperti TikTok, youtube , facebook, instagram dan twitter . Bahkan menjadi tema menarik dalam pembahasan psikologi di kalangan anak muda. Hal ini dipicu pula karena adanya pengaruh media yang mengakibatkan anak muda saat ini merasa dirinya tidak percaya diri, cemas bahkan merasa tidak aman. Sehingga cenderung etnosentris, membanding-bandingkan pencapaian atau keberhasilan dirinya dengan orang lain ataupun kelompok yang terlihat berbeda dengan dirinya.      Adanya pengaruh dari framing media yang membuat standar ideal dalam kehidupan manusia menjadi pemicu dalam kehidupan sehari-hari. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak publik lebih tertuju pada hasil ketimbang proses. M

Sakaw On Tablet

Pembelajaran dengan menggunakan gadget di sekolah bukanlah hal yang baru apalagi asing bagi dunia pendidikan.  Beberapa sekolah sudah menerapkan dan beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Terutama di masa pandemi untuk sekolah berasrama atau boarding menjadi hal baru dalam hal regulasi penggunaan gadget . Hal ini menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi siswa. Karena mereka tidak lagi tertinggal dalam hal informasi dan dapat mengakses informasi secara leluasa serta tidak merasa lagi dalam 'penjara suci' bagi sekolah boarding atau pesantren. Bagi guru hal ini menjadi masalah baru dengan beredarnya tablet di sekolah maupun di asrama. Mengapa? Karena siswa menjadi tidak fokus dalam belajar dan sulit dikendalikan. Kolaborasi pembelajaran dengan metode asinkron dan hybrid learning digunakan sebagai solusi atas terbatasnya jarak di masa pandemi ini. Namun, pada prakteknya seringkali penggunaan tablet di sekolah pada waktu istirahat maupun sedang berlangsung